
Denpasar, 5 Agustus 2025 – Polemik royalti lagu kembali menjadi sorotan dalam Diskusi Publik bertajuk “Polemik Royalti Lagu: Antara Hak Cipta dan Ketakutan Pelaku Usaha” yang disiarkan langsung oleh Garuda TV, Selasa (5/8). Acara ini menghadirkan narasumber penting, di antaranya Razilu (Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual), Buddy Ace (Pengamat Musik), Susanty Widjaya (Ketua Resto PHRI dan Ketua ASENSI), serta Jhonny Maukar (Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi).
Diskusi ini turut disaksikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Bali, Eem Nurmanah, Kepala Divisi Pelayanan Hukum, I Wayan Redana, Kepala Bidang KI, Kepala Bidang AHU, serta jajaran pejabat struktural dan fungsional Kanwil Kemenkum Bali.
Diskusi dibuka dengan pembahasan kekhawatiran pelaku usaha terkait kewajiban pembayaran royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Wakil Ketua DPR RI sebelumnya menyampaikan bahwa DPR telah berkoordinasi dengan Kemenkumham dan berkomitmen untuk mendorong revisi Undang-Undang Hak Cipta agar lebih adaptif terhadap perkembangan industri musik, tanpa memberatkan pelaku usaha.
Jhonny Maukar menegaskan bahwa hak cipta memiliki dua dimensi: hak moral dan hak ekonomi. “Penggunaan lagu untuk kepentingan komersial wajib disertai pembayaran royalti sebagai bentuk penghormatan kepada pencipta,” jelasnya. Ia menambahkan, LMKN menerapkan dua skema tarif, yaitu Rp120.000 per kursi per tahun atau Rp720 per meter persegi, dengan pengurangan untuk usaha mikro dan kecil.
Sementara itu, Susanty Widjaya mengungkapkan, banyak pelaku usaha yang memilih tidak memutar musik karena minimnya pemahaman terkait kewajiban royalti. “Diperlukan sosialisasi lebih masif agar pelaku usaha memahami aturan, perhitungan, dan mekanisme pembayaran royalti,” ujarnya.
Pengamat musik Buddy Ace menekankan perlunya komunikasi intensif antara LMK dan pelaku usaha. Ia juga mendorong digitalisasi pembayaran royalti demi transparansi dan kemudahan.
Dalam kesempatan ini, Dirjen KI, Razilu, menegaskan bahwa Hak Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif pencipta. “Kewajiban pembayaran royalti bukan untuk negara, tetapi bentuk penghormatan terhadap hak moral dan hak ekonomi pencipta,” tegasnya. Razilu menambahkan bahwa DJKI konsisten melakukan sosialisasi dan akan memperkuat peran LMK serta meningkatkan transparansi distribusi royalti.
Ia juga mengungkapkan, pemerintah bersama LMKN berkomitmen untuk terus menyempurnakan sistem agar lebih adil dan akuntabel. Evaluasi terhadap regulasi hak cipta yang berlaku sejak 2015 akan dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan industri kreatif.
Kepala Kanwil Kemenkum Bali, Eem Nurmanah, memberikan dukungan penuh terhadap upaya peningkatan pemahaman hukum ini. “Kami berharap diskusi ini dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan kesepahaman bersama antara LMK, pelaku usaha, dan masyarakat. Dengan begitu, hak-hak pencipta terlindungi dan industri kreatif Indonesia bisa tumbuh lebih sehat,” ujarnya.
